ABSTRAK
Artikel ini menyajikan uraian seputar metode penelitian
resepsi, sebagai bagian dari bermacam model penelitian komunikasi kualitatif. Analisis
resepsi dapat dikatakan menarik sebab ia mengambil teori dari ilmu sastra dan
metodologinya dari ilmu-ilmu sosial. Ilmu sastra memberi kontribusi
terhadap konsep yang mendukung komunikasi massa sebagai praktek produksi
budaya dan penyebaran makna dalam konteks sosial.Sementara dari ilmu
sosial, diadopsi dalam hal penggunaan model tertentu dari
penyelidikan empiris ke dalam proses interaksi antara pesan media massa dan
audiens mereka. Itulah inti dari analisis resepsi, yang bisa dikatakan
sebagai kemunculan dari sebuah format baru dari audiens riset pada
sekitar tahun 1980an dan menghadirkan suatu artikulasi yang tegas
pada kisaran kualitatif. Satu premis utama analisis resepsi bahwa untuk
menghasilkan kajian khalayak yang meliputi penggunaan dan dampak maka sejatinya
harus melalui terlebih dahulu kajian yang memadukan antara analisis isi dan
analisis khalayaknya sekaligus. Analisis resepsi berasumsi bahwa teks
dan penerima pesan itu adalah bagian dari unsur-unsur satu korpus kajian yang
komplementer di mana kedua-duanya merupakan aspek
sosial komunikasi yang diskursif.
A. Sejarah
Singkat Analisis Resepsi
Dalam
tradisi studi audience, setidaknya pernah berkembang beberapa
varian di antarannya disebut secara berurutan berdasar perjalanan sejarah
lahirnya: effect research, uses and gratification research, literary
criticism, cultural studies, reception analysis (Jensen&Rosengen,1995:174). Reception
analysis bisa dikatakan sebagai perspektif baru dalam aspek
wacana dan sosial dari teori komunikasi (Jensen,1999:135). Sebagai respon
terhadap tradisi scientific dalam ilmu sosial, reception
analysismenandaskan bahwa studi tentang pengalaman dan dampak media, apakah
itu kuantitatif atau kualitatif, seharusnya didasarkan pada teori representasi
dan wacana serta tidak sekedar menggunakan operasionalisasi seperti penggunaan
skala dan kategori semantik. Sebaliknya, sebagai respon terhadap studi teks
humansitik, reception analysismenyarankan baik audience maupun
konteks komunikasi massa perlu dilihat sebagai suatu spesifik sosial tersendiri
dan menjadi objek analisis empiris. Perpaduan dari kedua pendekatan (sosial dan
perspektif diskursif) itulah yang kemudian melahirkan konsep produksi sosial
terhadap makna (the social production of meaning). Analisis resepsi
kemudian menjadi pendekatan tersendiri yang mencoba mengkaji secara mendalam
bagaimana proses-proses aktual melalui mana wacana media diasimilasikan dengan
berbagai wacana dan praktik kultural audiensnya (Jensen, 1999:137).
Pemanfaatan
teori reception analysis sebagai pendukung dalam kajian
terhadap khalayak sesungguhnya hendak menempatkan khalayak tidak semata pasif
namun dilihat sebagai agen kultural (cultural agent) yang memiliki kuasa
tersendiri dalam hal menghasilkan makna dari berbagai wacana yang ditawarkan media.
Makna yang diusung media lalu bisa bersifat terbuka atau polysemic dan
bahkan bisa ditanggapi secara oposisif oleh khalayak (Fiske, 1987).
Adalah
David Morley yang pada tahun 1980 mempublikasikan Studi of the
Nationawide Audience kemudian dikenal sebagai pakar yang mempraktikkan
analisis resepsi secara mendalam. Pertanyaan pokok studi Morley tersebut adalah
mengetahui bagaimana individu menginterpretasikan suatu muatan program acara
televisi dilihat dalam kaitannya dengan latar belakang sosio kultural
pemirsanya.
Dalam
tulisannya yang dimuat dalam Cultural Transformation : The Politics of
Resistence(1983,dalam Marris dan Tornham 1999:474,475), Morley mengemukakan
tiga posisi hipotetis di dalam mana pembaca teks (program acara) kemungkinan
mengadopsi:
1.
Dominant (atau ‘hegemonic’) reading :
pembaca sejalan dengan kode-kode program (yang didalamnya terkandung
nilai-nilai,sikap,keyakinan dan asumsi) dan secara penuh menerima makna yang
disodorkan dan dikehendaki oleh si pembuat program.
2.
Negotiated
reading : pembaca dalam batas-batas tertentu
sejalan dengan kode-kode program dan pada dasarnya menerima makna yang
disodorkan oleh si pembuat program namun memodifikasikannya sedemikian rupa
sehingga mencerminkan posisi dan minat-minat pribadinya.
3.
Oppositional
(‘counter hegemonic’) reading:
pembaca tidak sejalan dengan kode-kode program dan menolak makna atau pembacaan
yang disodorkan, dan kemudian menentukan frame alternatif sendiri di dalam
menginterpretasikan pesan/program.
Kajian
resepsi sebagaimana dilakukan oleh Morley di atas melandaskan diri pada
pemikiran Stuart Hall, sekarang adalah Profesor Sosiologi di Open University,
dan merupakan tokoh utama dalam sejarah kebangkitan politik Kiri di Inggris di
tahun 1960-an dan 1970-an. Hall sendiri mengikuti gagasan Althusser dan
berpendapat bahwa media muncul sebagai refleksi atas realitas di mana media itu
terlebih dahulu mengkonstruksikannya.
B. Metodologi
Resepsi
Analisis
resepsi merupakan bagian khusus dari studi khalayak yang mencoba mengkaji
secara mendalam proses aktual di mana wacana media diasimilasikan melalui
praktek wacana dan budaya khalayaknya. Ada tiga elemen pokok dalam metodologi
resepsi yang secara eksplisit bisa disebut sebagai “ the collection,
analysis, and interpretation of reception data “ ( Jensen, 1999: 139)
. Ketiga elemen tersebut adalah sebagai berikut:
1.
mengumpulkan data dari khalayak.
Data bisa diperoleh melalui wawancara mendalam (baik
individual maupun kelompok). Dalam uraian ini lebih ditekankan perolehan data
melalui wawancara kelompok yang akrab disebut focus group interview,
sebagaimana pernah dilakukan oleh Jensen (1999). Perlu ditekankan bahwa dalam
analisis resepsi, perhatian utama dalam wawancara mendalam secara kelompok
tetap harus berpegang pada “wacana yang berkembang setelah diantarai media di
kalangan pemirsa”, artinya, wawancara berlangsug untuk menggali bagaimana
sebuah isi pesan media tertentu menstimulasi wacana yang berkembang dalam diri
khalayaknya.
2. menganalisis
hasil atau temuan dari wawancara atau rekaman proses jalannyafocus group
discussions (FGD).
Setelah wawancara dan FGD sebagaimana langkah pertama di
atas dilakukan maka, tahap berikutnya peneliti akan mengkaji catatan wawancara
tersebut yang berupa ratusan transkrip wawancara yang di dalamnya kemudian bisa
disarikan berbagai kategori pernyaatan, pertanyaan, komentar dsb. dari peserta
diskusi. Dalam tahap ini peneliti bisa memanfaatkan metode analisis wacana
sebagaimana lazimnya dipakai dalam studi literer untuk menelaah makna-makna
intersubjektif dan menginterpretasikan makna yang tersirat dibalik pola
ketidaksepakatan pendapat di antara peserta dan sebagainya yang mungkin muncul
dalam diskusi. Dalam tahap ini, peneliti kemudian tidak sekedar melakukan kodifikasi
dari seberapa pendapat yang sejalan atau yang tidak sejalan melainkan lebih
merekonstruksi proses terjadinya wacana dominan dan sebaliknya, dilihat dari
berbagai latar belakang sosio kultural peserta diskusi.
3. tahap
ini peneliti melakukan interpretasi terhadap pengalaman bermedia dari
khalayaknya.
Perlu dicatat bahwa dalam tahap ini sebenarnya seorang
peneliti tidak sekedar mencocokkan model pembacaan sebagaimana yang telah
dirumuskan dalam acuan teoritis melainkan justru mengelaborasikan dengan temuan
yang sesungguhnya terjadi di lapangan sehingga memunculkan model atau pola
penerimaan yang riil dan lahir dari konteks penelitian sesungguhnya.
C. Langkah
Penelitian dan Contoh Kasus
Untuk
memberi ilustrasi mengenai langkah-langkah penelitian dengan metode resepsi
bisa disimak contoh-contoh berikut: Jensen (1988 ) melakukan penelitian
tentang resepsi khalayak pemirsa televisi di Denmark terhadap acara topik
dan isu yang dibawakan dalam tayangan berita. Setelah menentukan satu
mata acara berita yang menjadi fokus kajian maka peneliti melakukan
analisis isi terhadap tayangan berita televisi tersebut dan melakukan
kodifikasi terhadap tema-tema sentral yang menjadi isu pemberitaan selama kurun
waktu tertentu. Tahap selanjutnya, peneliti memilih secara acak penonton
televisi yang dibedakan menurut umur, jenis kelamin dan berbagai karakter
sosioekonomik yang beragam serta berasal dari berbagai wilayah yang berbeda.
Peneliti
kemudian menentukan terdapat 33 informan yang berbeda karakteristiknya dan siap
untuk diwawancarai secara mendalam. Wawancara dilaksanakan secara semi
terstruktur, terfokus pada 10 berita utama yang disajikan dalam berita televisi
tersebut. Dalam wawancara, peneliti menggali sejauh mana tema pokok dalam
masing-masing berita tersebut dipahami dan dimaknai yang tak lain adalah
mencoba bagaimana pemirsa melakukan resepsi sebuah pesan media. Hasil wawancara
yang berupa rekaman transkrip tersebut kemudian dianalisis dan dikategorikan
menjadi beberapa ‘themes’. Simpulan dalam penelitian tersebut, ternyata bahwa
telah terjadi perbedaan signifikan antara ‘themes’ yang dikedepankan oleh
jurnalis dengan yang ditangkap oleh pemirsa. Lebih jauh, kajian Jensen (1988)
menguatkan perspektif baru dalam melihat khalayak sabagai agent aktif yang
memiliki kuasa tersendiri di dalam menciptakan wacana yang berkembang dalam
masyarakat, betatapun kuat dan dominannya media di dalam menanamkam
wacana di dalam masyarakat.
Contoh
penelitian lain yang salah satu metodenya menggunakan analisis resepsi juga
dilakukan oleh Adi (2008). Penelitian berjudul IDENTITAS KULTURAL DAN
TELEVISI LOKAL(Studi Tentang Konstruksi dan Representasi Identitas Kultural
dalam Tayangan Banyumas TV) tersebut mencoba menggali bagaimana
resepsi (penerimaan) pemirsa terhadap tayangan-tayangan yang merepresentasikan
identitas kultural mereka. Berbeda dengan penelitian Jensen (1988),
penelitian Adi (2008) menggunakan metode diskusi kelompok terfokus ( FGD) dalam
menggali resepsi khalayak.
Tahap
pertama penelitian dilakukan melalui analisis isi kualiatif untuk menentukan
‘themes’ dominan yang ditawarkan program acara. Kemudian tahap
selanjutnya peneliti menyelenggarkan FGD yang diikuti empat kelompok : (a)
kelompok akademisi (lima orang partisipan), (b) kelompok mahasiswa ( lima orang
partisipan), (c) kelompok pekerja (enam orang partisipan), (d) kelompok pegawai
negeri (enam orang partisipan). Prosedur FGD dilakukan dengan mengikuti
langkah-langkah sebagaimana disarankan oleh Pawito (2007) sebagai berikut:
a.
Penentuan topik penelitian.
b.
Perumusan panduan interview yang bersifat
longgar agar jalannya diskusi bisa terarah.
c.
Penyediaan paket pesan (rekaman tayangan
acara televisi) sebaai bahan diskusi.
d.
Penunjukkan moderator yang akan menjadi fasilitator
dan mengajukan pertanyaan dalam diskusi.
e.
Pengorganisasian kelompok dengan memerhatikan
jumlah dan karakter kelompok sesuai dengan tujuan penelitian; jumlah dan
nama-nama peserta yang akan diundang dalam masing-masing kelompok; menentukan
waktu dan tempat diskusi; merencanakan intesif yang mungkin akan diberikan
kepada partisipan jika memang dipandang perlu.
f.
Menghadirkan partisipan untuk masing-masing
kelompok pada waktu dan tempat yang telah ditentukan. Kegiatan FGD untuk
masing-masing kelompok bisa mengambil waktu dan tempat yang berbeda.
g.
Pencatatan jalannya diskusi ( menggunakan
alat perekam baik audio maupun audiovisual) setelah paket pesan disampaikan
kepada peserta diskusi. Waktu yang digunakan untuk penayangan paket pesan diusahakan
tidak lebih dari 30 menit, kemudian diskusi dan interview bisa berlangsung
selama sekitar satu jam.
h.
Penyusunan transkrip hasil diskusi. Dalam
transkrip disertakan catatan tentang informasi nonverbal yang muncul
selama diskusi berlangsung.
i.
Analisis terhadap data yang telah disusun
dalam transkrip. Analisis bersifat kualitatif dengan demikian memerlukan
triangulasi utamanya triangulasi teori dan data.
j.
Penarikan simpulan berdasar pada pertanyaan
dan tujuan penelitian.
Data-data
yang digali dalam penelitian ini menunjukkan adanya pola-pola pemaknaan
kultural yang beragam dalam diri pemirsa terhadap teks, di mana latar belakang
kultural yang mulivaset dalam diri seseorang memiliki kecederungan yang kuat
memengaruhi pemaknaan terhadap teks tersebut. Bila dikaitkan dengan
beberapa kategori konsep identitas kultural yang menjadi perhatian penelitian
tersebut maka bisa dilihat bagaimana pemirsa kemudian mendefinisikan teks itu
menurut perspektif kultural mereka sendiri. Temuan ini mengingatkan
kita pada teori respon pembaca yang dikemukakan oleh Stanley
Fish (dalam Littlejohn,2002:190). Menurut Fish makna itu terletak
pada sisi pembaca dengan mekanisme yang kemudian dikenal sebagai teori
respon pembaca. Teks menstimulasi pembaca aktif, namun dalam diri
pembaca tersebut sudah terkandung makna, dan penafsiran lalu tidak bergantung
pada teksnya. Dalam penafsiran, individu si pembaca itu tidaklah terlepas dari
konteks komunitasnya. Menurut Fish pembaca adalah bagian dari sebuah komunitas
penafsir, suatu kelompok yang saling berinteraksi satu dengan
lainnya yang kemudian mengkonstruksikan realitas serta makna-makna
bersama dan menjadikannya dasar di dalam pembacaan mereka. Dalam model
penafsiran seperti ini maka tidak ada makna objektif tunggal dalam sebuah teks.
Juga tidak ada yang disebut penafsiran yang benar. Segala sesuatu bergantung
pada si pembaca. Teori respon pembaca inilah yang kemudian sangat berpengaruh
dalam studi media.
Hasil
penelitian tersebut juga menguatkan teori resepsi dimana dikenal tiga aktivitas
dalam diri pemirsa yang berlangsung secara simultan yakni membaca,
memahami dan menafsirkan. Pembacaan atau ‘reading’ berarti
ada sebuah teks yang terbentuk dari simbol-simbol visual dan yang lainnya di
mana dari teks tersebut terbentuk suatu makna tertentu; di sini pembacalah yang
memiliki kemampuan di dalam mengonkonstruksi makna dari teks tersebut; dan
disitulah terjadi interaksi antara teks dengan pembacanya. Pembaca menerima
simbol-simbol yang ada di dalam teks dan ketika pembaca menilainya sebagai
‘masuk akal’ baginya maka mereka akan memahaminya dengan cara
menempatkannya di dalam semacam ‘frame’. Pembaca kemudian menginterpretasikansimbol-simbol
tersebut dengan cara mengaitkannya dengan apa yang tengah berlangsung dengan
apa yang sekiranya menjadi maksud si pembuat teks serta apa yang kira-kira akan
disampaikannya dengan teks itu (extratextual points of reference) (Real
1996:103-104). D.
D.Catatan
Penutup
Mengkaji
khalayak media dengan menggunakan analisis resepsi hingga saat ini masih belum
banyak dilakukan. Beberapa implikasi yang perlu diperhatikan dalam melakukan
penelitian resepsi di masa depan adalah perlunya memadukan antara metode
penggalian data khalayak dengan menggunakan wawancara mendalam dan FGD
sekaligus. Tidak begitu disarankan untuk hanya menekankan pendekatan wawancara
mendalam individual karena sifat dari kajian resepsi tidak lain adalah melihat
bagaimana wacana yang timbul sebagai bagian dari sebuah pertemuan antara
berbagai individu yang berbeda karakterisktik ketika secara bersama-sama
diminta untuk memberi respon terhadap stimulan pesan media tertentu. Untuk itu
FGD diibaratkan sebuah laboratorium mini gambaran masyarakat yang beragam
ketika mengkonstruksi makna dari wacana media yang berkembang.
DAFTAR
PUSTAKA
Adi,
Tri Nugroho. IDENTITAS KULTURAL DAN TELEVISI LOKAL (Studi Tentang
Konstruksi dan Representasi Identitas Kultural dalam Tayangan Banyumas TV). Thesis
Magister Pascasrjana Universitas Sebelas Maret. Surakarta. 2008. Tidak
diterbitkan.
Fiske,
John. Television Culture.London: Rotledge, 1997.
Jensen,
Klaus Bruhn, “ News as Social Resources,” Dalam European Journal of
Communication 3. 3 : 275-301, 1988
___________________.
“Media Audiences. Reception Analysis; mass communication as the social
production of meaning“. Dalam Klaus Bruhn Jensen &
Nicholas W Jankowski. ( eds.). A Handbook of Qualitative
Methodologies for Mass Communication Research.London : Routledge,1999.
Jensen,
Klaus Bruhn & Rosengen,Karl Erik. “Five Tradition in Search of Audience”.Dalam
Oliver Boyd-Barret & Chris Newbold (ed.). Approaches to Media A
Reader.New York :Oxford University Press Inc, 1995.
Littlejohn,
Stephen W. Theories of Human Communication.(7ed.)USA: Wadworth,
2002.
Marris,
Paul & Sue Thornham. Media Studies A Reader 2ed. Edinburgh:
Edinburgh University Press Ltd., 1996.
Morley,
David. Family Television: Cultural Power and Domestic Leisure.London:
A Comedia Book, 1986.
Pawito
. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta : LkiS, 2007.
Real,
Michael. R. Exploring Media Culture : A Guide. USA :
Sage Publication, 1996.