RADIO TIDAK BOLEH MATI

Media dewasa ini adalah makhluk Tuhan yang paling seksi. Semua orang berharap memiliki medianya sendiri yang dapat menyuarakan kepentingannya. Dengan rekayasa sedemikian rupa, media memiliki kekuatan yang dapat mengajak masyarakat sebagai penontonnya untuk bergerak dari kursi penonton, turun ke jalan-jalan mengeksekusi isu-isu sosial yang sedang hangat di media. Jikalau produk-produk perusahaan dapat menarik pelanggannya melalui iklan di media, maka begitu juga dengan ide-ide perubahan dan ajakan untuk kritis terhadap fenomena sosial tentu pasti akan memiliki kekuatan tersendiri di dalam masyarakat jika disuarakan melalui media. Media di zaman modern dipercaya sebagai salah satu kekuatan utama dalam mempromosikan serta melestarikan budaya.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, tidak dipungkiri lagi radio adalah media yang paling berpengaruh di Indonesia. Setidaknya gelar itu pernah tersemat di saat radio menjadi pahlawan di negeri ini lantaran perjuangannya menyebarkan berita ke seluruh dunia bahwa nusantara belum habis dan masih memegang kemerdekaannya disaat agresi belanda II di tahun 1948. Jauh sebelum itu pun radio juga berperan penting menyuapi informasi tentang dinamika perang dunia ke telinga Indonesia. Kala itu, berita jatuhnya imperium Jepang oleh bom atom Amerika memberi inspirasi pemuda untuk memerdekakan bangsanya dari penjajahan.
Namun di era orde baru, radio sempat vakum eksitensinya. Radio, dengan begitu juga termasuk kebebasan berekspresi, dibungkam agar tidak sewenang-wenang menyampaikan informasi.
Indonesia pasca reformasi menandakan awal baru disaat radio kembali tumbuh dan menjadi media alternatif bagi masyarakat. Tidak hanya memberi informasi terkini tetapi juga menghibur, dan menjadi alat pendidikan bagi masyarakat. Inilah momentum kita untuk mengangkat pahlawan itu kembali dengan harapan suara ajaibnya mampu menyuarakan suara yang tidak terdengar selama ini, yaitu suara orang-orang terpinggirkan masyarakat kelas bawah dalam satu semangat bernama jurnalisme demokratis independen.
Tantangan Radio di Era Globalisasi
Keluaran dari organisasi penyiaran radio adalah siaran. Setiap mata acara siaran direncanakan, diproduksi, dan disajikan kepada pendengar dengan isi pesan yang bersifat informatif, edukatif, persuasif, stimulatif, dan komunikatif.(Wahyudi, 1994:7).[1]
Namun seiring berjalannya waktu, radio pun tidak terlepas dari pengaruh globalisasi yang senantiasa berubah bahkan dalam hitungan detik sekalipun. Masyarakat adalah faktor utama dalam perkembangan radio serta indeks yang menentukan hidup matinya sebuah stasiun radio. Sudah menjadi sifat dasar manusia akan keperluannya dengan hiburan yang nyata menghibur dan kehausan akan informasi aktual, maka manusia pun dengan sendirinya akan lebih tertarik dengan media yang dapat memuaskan dua sifat dasar tersebut.
Maka sudah lumrah kita lihat dimana-mana orang akan menonton televisi dan mengakses internet ketimbang mendengar radio. Topik pembicaraan masyarakat pun berkisar seputar isu-isu yang hangat di tampilkan di televisi dan internet. Singkatnya, radio kini telah ditinggalkan oleh masyarakat.
Tidak sampai disitu, terkadang, banyak juga masyarakat yang memilih tetap setia mendengar radio karena berbagai alasan. Namun, keadaan yang mendesak membuat produser radio tidak lagi idealis dan lebih memilih untuk membuat program radio yang dapat menghasilkan uang untuk bertahan hidup. Maka masuklah program-program radio yang tidak mendidik, dependen, dan tidak kritis. Karena kehilangan dinamika, radio pun dianggap telah tua serta mulai ditinggalkan bahkan oleh pendengar-pendengar yang idealis.
Instrumen Pertahanan Diri Radio
Setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pekerja-pekerja kreatif di bidang radio untuk meneruskan budaya radio di negara kita tercinta juga untuk bertahan hidup dari gempuran keras badai globalisasi.
Yang pertama tentunya adalah isu finansial yang menjadi isu utama dimana-mana. Orang menjadi professional di zaman ini dengan uang, terkadang bukanlah istilah yang sepenuhnya salah. Namun uang bukanlah segalanya, juga bisa diyakini tidak sepenuhnya salah pula. Percuma jika sebuah lembaga memiliki kucuran dana yang banyak jika kakinya terkungkung, diatur apa-apa saja yang boleh dan tidak boleh keluar dari ruang rekaman.
Maka peran pihak ketiga dapat menjadi bantuan besar bagi keberlangsungan jurnalisme radio yang kreatif dan independen. Pihak ketiga ini yang juga pandai-pandai pihak stasiun radio untuk mencari perhatian Mereka adalah mereka yang ingin memberi sebagian dananya cuma-cuma. Orang-orang seperti itu dikenal dengan istilah Filantropis.
Berbicara dana sumbangan filantropis, Patrice Schneider, Chief Strategy Officer di Media Development Loan Fund mengatakan bahwa Amerika adalah negara terdepan yang memiliki media yang didanai melalui dana filantropi. Sejak tahun 2005, lebih dari 250 juta dolar telah dikucurkan untuk perusahaan-perusahaan nirlaba.[2]
Maka tidak heran mengapa hari ini Amerika menjadi kiblat dunia bagi media independen yang berlimpah kekayaan dan kreatif pula. Michael Maness, wakil presiden jurnalisme dan inovasi media di Knight Foundation Amerika Serikat mengatakan bahwa kegiatan pendanaan filantropi merupakan alat yang berguna untuk mempertahankan jurnalisme yang kreatif.[3]
Dana yang berasal dari dana bantuan filantropi, yaitu dana yang tidak memihak serta tidak meminta imbalan apapun membuat media seperti stasiun radio yang bersangkutan tidak terikat dan tidak memiliki beban apapun untuk memproduksi acara dan berani menceritakan berita apapun. Dengan begitu, maka radio telah memberi andil yang besar untuk kemajuan jurnalisme yang independen dan berpihak kepada masyarakat. Radio yang memiliki dana yang independen tanpa terikat oleh pihak tertenu akan memiliki variasi program siaran yang lebih kreatif karena tidak disibukkan dengan memikirkan kemampuan finansial yang terbatas.
Kemudian faktor lain yang perlu diperhatikan juga oleh pelaku media kreatif seperti stasiun radio adalah inovasi, jiwa dari lembaga jenis apapun. Tanpa inovasi dan kreativitas maka radio hanya akan menjadi cerita lama yang usang yang tidak layak lagi di konsumsi oleh indera pendengar manusia modern.
Salah satu hal yang perlu di tambahkan adalah bagaimana radio yang selama ini hanya dapat berkomunikasi satu arah dengan audience-nya agar dapat meremajakan progam nya dengan menyediakan sarana komunikasi dua arah. Jika stasiun-stasiun radio bersangkutan sudah memiliki program serupa, maka buatlah Ia semakin intens. Salahsatu alternatif adalah meng-online-kan radio menjadi radio streaming seperti yang sekarang mulai menjamur dimana-mana.
Radio Sebagai Instrumen Tambahan Bagi Media Lainnya
Lalu apa manfaatnya jika radio masih bertahan dan terus dilestarikan? Bukankah dunia semakin maju sehingga kebutuhan manusia akan informasi dan hiburan pun bergeser kepada media yang dapat memenuhi tidak hanya indera dengar saja. Kita mungkin lupa bahwa fungsi radio bukan hanya sebatas pemberi informasi dan menghibur pendengarnya. Banyak fungsi-fungsi lain yang dijalankan oleh radio.
Misalkan saja radio komunitas yang fungsinya dapat dijalankan untuk meredam konflik antar etnis di dalam sebuah daerah. Radio memainkan peran penting karena tidak semua daerah di Indonesia yang dapat terjangkau oleh media cetak, televisi, dan internet. Apalagi, dengan radio komunitas mereka dapat menyuarakan pendapat mereka tentang daerahnya sendiri sehingga tidak ada suara-suara sumbang dari luar yang dapat memecah belah persatuan mereka.
Selain itu, radio juga memberi arti penting bagi perkembangan dunia komunikasi dimana seni berbicara untuk menarik perhatian orang terus berkembang di dalam dunia penyiaran radio, dan secara tidak langsung memberi andil untuk media lain seperti dunia pertelevisian, media cetak dan lainnya.
Dari pemaparan diatas maka dapat kita simpulkan bahwa radio tidak boleh dibiarkan mati. Walautrend-nya kini telah terkikis zaman, namun radio juga memberi andil bagi dinamika ekonomi dan aspek-aspek lainnya walau kecil. Semoga radio dapat terus dilestarikan dan dikembangkan oleh tidak hanya pemerintah namun juga seluruh elemen masyarakat yang peduli akan keberlangsungan media kreatif yang independen tidak memihak dan dapat menyuarakan keluh kesah masyarakat.
Referensi:
[1] Wahyudi dalam Novi Siti Kusuji Indrastuti, “Alih Kode dan Campur kode dalam siaran radio: Analisis Sosiolinguistik”, hal 2 Jurnal Sabena diaksestanggal.ugm.ac.id No. V. 1997.Universitas Gadjah Mada.
[2] Future Media Lab.(6-7 November 2012). Creative Funding for Creative Media. The first European conference on innovative funding solutions for Europe’s media sector.Ghent, Belgia.
[3] Ibid.


0 komentar:

Posting Komentar